77 Tahun Tertinggal Mau Sampai Kapan Kita Diam?
Pada tahun 2018, Bank Dunia merilis laporan penting bertajuk Human Capital Index. Tujuannya untukl mengukur seberapa baik suatu negara mempersiapkan masa depan manusianya. Indonesia, sayangnya, mendapat sorotan tajam. Hasil tes internasional (PISA) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa menempatkan kita jauh di bawah rata-rata global.
Para analis tak berhenti di situ. Mereka melakukan simulasi: berapa lama waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk mengejar ketertinggalan? Hasilnya mencengangkan. Jika kecepatan belajar kita tetap seperti sekarang, dibutuhkan waktu 50 hingga 77 tahun untuk menyamai negara-negara maju dalam hal literasi dan numerasi. Dan itu dengan asumsi negara lain tidak bergerak maju ,sebuah asumsi yang jelas mustahil.
Bayangkan kita sedang berlomba lari. Negara maju sudah jauh di depan, sementara kita baru memulai. Jika mereka terus berlari dan kita hanya berjalan, maka jarak itu akan semakin melebar. Ini adalah cermin betapa lambatnya peningkatan kualitas pendidikan kita. Dan pendidikan hanyalah satu sektor. Infrastruktur, ekonomi, teknologi? Kita tertinggal lebih jauh lagi.
Realita yang Tersembunyi dan Paradoks Kemajuan
Ketertinggalan ini sering kali tersembunyi dalam laporan-laporan yang tak digubris. Padahal, ketika kita scrolling media sosial, kita melihat betapa canggihnya kereta cepat di Jepang, bersihnya tata kota Singapura, dan hebatnya sistem pendidikan Finlandia. Sementara itu, dunia sudah membahas kolonisasi Mars, internet super cepat, dan dominasi kecerdasan buatan.
Di negara-negara seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan, robot bukan lagi fiksi ilmiah. Mereka menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di pabrik, restoran, bahkan panti jompo. Bahkan India, yang sering dianggap “setara” dengan kita oleh netizen, sudah berhasil mendaratkan wahana ke bulan dengan biaya murah.
Ironisnya, kita masih terjebak dalam perdebatan soal tahayul, ilmu mistis, dan fenomena yang sulit diterima akal. Kita masih mengeluhkan parkir liar, jalan berlubang, birokrasi yang rumit, dan ormas yang rebutan rendang. Di atas kertas, kita adalah anggota G20 forum negara dengan ekonomi terbesar. Tapi di level mikro, kemajuan itu sering tak terasa.
Kenapa Kita Tertinggal?
Pertanyaan mendasarnya: kenapa kita bisa tertinggal? Padahal, jika dibandingkan dengan Korea Selatan, tahun kemerdekaan kita hanya beda dua hari.
1. Feodalisme yang Membelenggu
Secara sistem, kita menganut demokrasi. Tapi dalam praktik, mentalitas feodal masih merajalela. Pemimpin diposisikan seperti raja, kritik dianggap pembangkangan. Sastrawan Mochtar Lubis pernah menyebutkan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah bersikap feodal, bawahan mengabdi mutlak, atasan menuntut pengabdian total.
Budaya “asal Bapak senang” merusak objektivitas dan meritokrasi. Bahkan di institusi yang dihormati seperti pesantren, pengkultusan berlebihan bisa menghambat regenerasi dan membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. Kita perlu cerdas memilih panutan, bukan sekadar mengikuti figur yang mencampuradukkan ajaran leluhur dengan klaim-klaim tak masuk akal.
2. Budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Dalam buku Why Nations Fail, disebutkan bahwa kemajuan atau kegagalan suatu negara ditentukan oleh institusi dan sistem politiknya. Di Indonesia, praktik KKN masih menjadi penghambat utama. Korupsi merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah, uang yang seharusnya bisa membangun ribuan sekolah atau membiayai riset teknologi selama puluhan tahun.
KKN merusak alokasi sumber daya dan menghancurkan meritokrasi. Orang ditempatkan bukan karena kompetensi, tapi karena relasi. Kita seolah mengulangi kesalahan VOC, perusahaan multinasional terkaya yang akhirnya bangkrut karena korupsi.
3. Pola Pikir Mistika
Ketika literasi sains dan matematika rendah, kemampuan berpikir kritis ikut tergerus. Informasi fiksi dan fakta terlihat sama benarnya. Dalam Thinking Fast and Slow, Daniel Kahneman menjelaskan dua sistem berpikir: sistem satu yang cepat dan intuitif, serta sistem dua yang lambat dan logis. Cerita mistis lebih mudah dicerna oleh sistem satu, sementara sistem dua butuh usaha dan kita sering malas menggunakannya.
Mengatakan seseorang sakit karena dirasuki jin lebih mudah daripada memahami penjelasan psikologis. Menganggap benda bergerak sendiri karena ulah setan lebih gampang daripada memahami hukum fisika. Jika pola pikir ini diterapkan pada isu besar seperti ekonomi, kesehatan, atau bencana alam, maka solusi berbasis data akan terhambat.
Padahal kita tidak kekurangan talenta. Anak-anak muda kita rutin memenangkan medali Olimpiade Sains Internasional. Startup teknologi kita dihargai triliunan rupiah. Tapi apresiasi sering kalah oleh cemoohan. Kita ingin maju, tapi alergi terhadap fondasi kemajuan itu sendiri.
Saatnya Berpikir Ilmiah dan Melompat ke Masa Depan
Carl Sagan dalam The Demon-Haunted World mengatakan bahwa sains bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tapi cara berpikir. Sudah saatnya kita mengadopsi cara berpikir ilmiah secara massal. Ini bukan berarti meninggalkan budaya, tapi memilah mana warisan yang relevan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan.
Kabar baiknya, kita tidak harus menempuh jalur pembangunan yang sama dengan negara maju. Di era digital, ada konsep leapfrogging melompati tahapan pembangunan dan langsung mengadopsi teknologi terbaru. Contohnya? Smartphone dan jaringan seluler. Dulu, negara harus membangun kabel telepon ke pelosok. Sekarang, petani di desa terpencil pun bisa video call berkat menara BTS.
Jadi, meskipun jarak historisnya puluhan tahun, kita tetap bisa mempercepat kemajuan. Pertanyaannya: apakah kita mau?
Harapan Itu Ada, Tapi Tanggung Jawabnya di Tangan Kita
Indonesia tidak akan berubah hanya dengan menyalahkan pemerintah atau menunggu pahlawan. Perubahan itu berat, menyakitkan, tapi bukan mustahil. Harapan itu ada, dan semuanya ada di tangan kita.
Setiap kali kita berani bersuara melawan ketidakadilan, memilih jujur di saat ada kesempatan curang, atau berpikir kritis dengan logika yang benar itu adalah satu langkah kecil menarik bangsa ini ke depan.
Jalan mana yang akan kita pilih? Jalan nyaman yang membuat kita tertinggal, atau jalan baru yang menantang tapi menjanjikan?

Posting Komentar