![]() |
Ilustrasi Investasi Koin Uang (Pixabay.com/Image by Nattanan Kanchanaprat) |
Pernahkah Anda membayangkan seorang pensiunan petugas kebersihan memiliki halaman Wikipedia yang mencantumkan profesinya sebagai filantropis dan investor? Ini bukan fiksi. Namanya Ronald James Reid. Di sisi lain, bayangkan seorang eksekutif bisnis super sukses: lulusan Harvard, pemegang gelar MBA, pensiun dini di usia 40-an untuk menjadi filantropis. Namanya Richard Fuscone.
Kisah mereka tampak seperti datang dari dua dunia yang berbeda. Satunya adalah simbol kesederhanaan dan kerja keras kelas pekerja, sementara yang lainnya adalah perwujudan impian kesuksesan finansial di puncak tertinggi. Namun, akhir cerita mereka akan mengejutkan Anda. Ronald Reid meninggal sebagai seorang multijutawan, sementara Richard Fuscone harus menyatakan diri bangkrut.
Apa yang sebenarnya terjadi? Dan pelajaran apa yang bisa kita petik dari dua kisah nyata yang kontras ini? Mari kita bedah lebih dalam.
Ronald Reid: Kesabaran Seorang Petugas Kebersihan
Pada tahun 2014, Ronald Reid meninggal dunia di usia 92 tahun. Seumur hidupnya, ia dikenal sebagai pria biasa yang jauh dari sorotan. Ia bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah department store selama belasan tahun dan menjadi penjaga pom bensin selama 25 tahun. Ia tinggal di rumah sederhana dengan dua kamar tidur, sebuah potret tipikal kelas pekerja Amerika.
Namun, saat surat wasiatnya dibacakan, dunia terkejut. Pria sederhana ini ternyata meninggalkan harta kekayaan sebesar $8 juta US Dollar, atau setara dengan lebih dari Rp 120 miliar.
Dari mana uang sebanyak itu datang? Ronald Reid bukanlah pewaris kekayaan, ia juga tidak pernah memenangkan lotre. Rahasianya sederhana namun luar biasa: ia rajin menyisihkan sebagian kecil dari gajinya yang tidak seberapa untuk diinvestasikan secara konsisten pada saham-saham blue chip.
Selama puluhan tahun, sedikit demi sedikit, investasinya tumbuh melalui keajaiban compounding. Setelah ia meninggal, $2 juta diwariskan kepada anak-anak sambungnya, dan sisa $6 juta ia sumbangkan ke rumah sakit dan perpustakaan lokal di kota tempat ia tinggal sebuah warisan yang mengubah komunitasnya selamanya.
Richard Fuscone: Kejatuhan Seorang Bintang Finansial
Beberapa bulan sebelum Ronald Reid meninggal dalam damai, nama Richard Fuscone justru menghiasi berita dengan cara yang sangat berbeda. Latar belakang Fuscone adalah impian semua orang: lulusan Universitas Harvard dengan gelar MBA, karir cemerlang di lembaga keuangan Merrill Lynch, dan kesuksesan yang memungkinkannya pensiun dini di usia 40-an untuk fokus pada filantropi. Ia bahkan masuk dalam daftar "40 Under 40" di sebuah majalah bisnis terkemuka.
Namun, semua kemewahan itu mulai retak pada pertengahan tahun 2000-an. Richard mengambil pinjaman dalam jumlah masif untuk merenovasi dan memperluas mansion mewahnya di Connecticut. Bayangkan sebuah rumah seluas 1.600 m² yang dilengkapi 11 kamar mandi, dua lift, dua kolam renang, dan tujuh garasi. Biaya perawatannya saja mencapai $90.000 per bulan hampir Rp 1 miliar hanya untuk maintenance!
Kemudian, krisis keuangan global tahun 2008 menghantam. Efeknya brutal dan masif. Dengan utang yang sangat tinggi dan aset yang terikat pada properti mewah yang tidak likuid, Richard Fuscone terpojok. Ia harus menyatakan bangkrut. Kepada pengadilan, ia mengaku tidak lagi memiliki pemasukan. Satu per satu, rumah-rumah mewahnya, termasuk mansion raksasa di Connecticut, disita oleh bank.
Kisah Ronald dan Richard adalah ilustrasi sempurna dari kutipan fenomenal Morgan Housel dalam bukunya, The Psychology of Money:
Doing well with money has a little to do with how smart you are and a lot to do with how you behave.
Artinya, keberhasilan dalam mengelola uang tidak terlalu ditentukan oleh seberapa pintar Anda, melainkan lebih kepada bagaimana perilaku Anda terhadap uang.
Richard Fuscone tidak diragukan lagi adalah orang yang sangat cerdas secara akademis. Ia paham seluk-beluk keuangan, pasar modal, dan strategi investasi yang kompleks. Namun, kecerdasan itu tidak mampu menyelamatkannya dari kebangkrutan. Sebaliknya, Ronald Reid mungkin tidak pernah mempelajari teori ekonomi canggih, namun perilakunya kesabaran, konsistensi, dan kerendahan hati membawanya menuju kebebasan finansial yang sejati.
Di sinilah konsep Behavioral Finance berperan. Ilmu ini menjelaskan mengapa manusia seringkali membuat keputusan keuangan yang tidak logis karena dipengaruhi oleh emosi, bias kognitif, dan latar belakang psikologis.
Mari kita analisis perilaku keduanya:
Ronald Reid: Tumbuh di era Great Depression dan Perang Dunia II, ia memiliki pemahaman mendalam tentang betapa sulitnya mencari uang. Pengalaman hidup ini membentuk perilakunya menjadi sangat hati-hati. Ia memandang uang sebagai sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan bijak. Ia hidup dengan gaya frugal: memakai jaket yang sama selama bertahun-tahun (bahkan menambalnya dengan peniti), mengendarai Toyota Yaris bekas, dan menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan untuk belajar investasi dari buku dan majalah The Wall Street Journal. Strategi investasinya pun mencerminkan karakternya: ia membeli saham perusahaan besar yang memberikan dividen, lalu menggunakan dividen tersebut untuk membeli lebih banyak saham (strategi dividend reinvesting). Ia membangun portofolio yang terdiversifikasi di 95 saham berbeda, hanya berinvestasi pada industri yang ia pahami.
Richard Fuscone: Dianugerahi kesuksesan sejak usia muda, ia mungkin mulai memandang uang sebagai sumber daya yang tak terbatas. Kesuksesan di masa lalu melahirkan rasa percaya diri berlebih (overconfidence bias), yang membuatnya berani mengambil risiko yang sangat besar dalam kasusnya, utang raksasa untuk gaya hidup mewah. Keputusannya untuk menghabiskan hampir Rp 1 miliar sebulan hanya untuk merawat satu rumah menunjukkan kesenjangan antara kebutuhan dan keinginan. Ia terjebak dalam perangkap gaya hidup, di mana egonya menuntut lebih banyak kemewahan, tanpa memperhitungkan potensi badai ekonomi yang bisa datang kapan saja.
Tiga Kunci Menyelaraskan Logika dan Emosi
Cerita di atas menunjukkan bahwa emosi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, rasa cinta pada keluarga dan keinginan untuk masa depan yang aman bisa menjadi motivator terkuat untuk menabung dan berinvestasi. Namun, di sisi lain, emosi seperti keserakahan, ketakutan (panik), dan FOMO (Fear of Missing Out) bisa menjadi perusak portofolio yang paling mematikan.
Agar logika dan emosi bisa berjalan sinkron, ada tiga hal praktis yang bisa kita terapkan:
1. Gunakan Cooling-Off Period (Masa Tenang)
Saat pasar sedang bergejolak, entah itu euforia karena harga meroket atau panik karena anjlok, jangan langsung mengambil keputusan. Beri diri Anda jeda, minimal 24 jam. Ketika Anda tergoda untuk menjual semua saham karena panik atau membeli saham yang sedang viral karena FOMO, tahan dulu. Setelah emosi mereda, pikiran akan menjadi lebih jernih, dan keputusan yang Anda ambil akan jauh lebih rasional.
2. Tetapkan Target dan Batasan Versi Anda Sendiri
Sebelum mulai berinvestasi, definisikan dengan jelas tujuan Anda. Kapan Anda berencana menjual? Berapa persen kerugian maksimal yang bisa Anda toleransi (cut loss)? Dengan memiliki rencana yang jelas di awal, Anda tidak akan mudah goyah oleh fluktuasi pasar harian. Anda berinvestasi berdasarkan rencana, bukan berdasarkan perasaan sesaat.
3. Ingat Tujuan Jangka Panjang, Bukan Perasaan Hari Ini
Selalu kembalikan fokus Anda pada "mengapa" Anda berinvestasi. Apakah untuk dana pensiun? Membeli rumah? Pendidikan anak? Ketika portofolio Anda memerah, ingatlah bahwa ini adalah perjalanan maraton, bukan sprint. Fokus pada tujuan akhir akan membantu Anda melewati volatilitas jangka pendek tanpa membuat keputusan gegabah yang akan Anda sesali.
Kenali Titik "Cukup" Anda
Ada satu lagi kutipan kuat dari Morgan Housel yang merangkum tragedi Richard Fuscone:
To make money they didn't have and didn't need, they risked what they did have and did need.
Artinya, demi mengejar uang yang tidak mereka miliki dan tidak mereka butuhkan, mereka nekat mengorbankan apa yang sudah mereka miliki dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan (yaitu, reputasi, kebebasan, dan keamanan finansial).
Richard sudah kaya. Ia sudah memiliki semua yang ia butuhkan. Namun, ia tidak tahu di mana titik "cukup" baginya. Ia terus mengejar lebih, mempertaruhkan segalanya demi gengsi dan kemewahan yang lebih tinggi, dan pada akhirnya kehilangan semuanya.
Inilah pentingnya mendefinisikan "cukup" untuk diri sendiri. Titik cukup setiap orang berbeda-beda, dan ini terkait erat dengan tujuan hidup dan investasi kita. Mengetahui kapan harus berhenti mengejar lebih banyak risiko adalah sebuah kecerdasan finansial yang tidak diajarkan di sekolah bisnis manapun.
Kisah Ronald Reid mengajarkan kita bahwa menjadi investor sukses tidak memerlukan modal besar atau gelar tinggi. Yang dibutuhkan adalah perilaku yang benar: konsistensi, kesabaran, dan kemauan untuk belajar.
Jika Anda terinspirasi untuk memulai perjalanan investasi Anda, jangan menunda lagi. Ingatlah, perjalanan ribuan mil dimulai dengan satu langkah kecil.