Scroll untuk melanjutkan membaca

Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi

Ilustrasi gambar kawin colong di banyuwangi (pixabay.com/Gambar oleh Alexa)

Indonesia, dengan kekayaan budayanya yang tak terhingga, selalu menyimpan cerita-cerita unik dari berbagai sudut nusantara. Salah satu yang paling menarik datang dari Banyuwangi, Jawa Timur, tanah kelahiran Suku Osing. Di tengah masyarakatnya yang memegang teguh adat, terdapat sebuah tradisi pernikahan yang terdengar dramatis namun sarat makna yaitu "Kawin Colong".

Secara harfiah, "Kawin Colong" berarti menikah dengan cara "mencuri". Namun, jangan bayangkan ini sebagai tindakan kriminal atau penculikan paksa. Kawin Colong adalah sebuah mekanisme adat yang kompleks, sebuah jalan terakhir yang dilegitimasi oleh tradisi bagi sepasang kekasih untuk menyatukan cinta mereka ketika terhalang restu orang tua. Postingan ini akan mengupas tuntas setiap tahapan dan filosofi di balik tradisi yang memadukan drama, negosiasi, dan perayaan ini.

Mengapa Harus "Mencuri"?

Kawin Colong tidak terjadi begitu saja. Tradisi ini menjadi solusi ketika jalinan asmara sepasang anak manusia menemui jalan buntu. Penyebab utamanya adalah tidak adanya restu dari salah satu atau kedua belah pihak orang tua. Alasan penolakan ini pun beragam, mulai dari hal klasik seperti perbedaan status sosial dan ekonomi, hingga sang gadis yang ternyata sudah dijodohkan dengan pria lain oleh keluarganya.

Di tengah kebuntuan inilah, sang jejaka dan sang gadis, yang didasari oleh cinta yang tulus, akan membuat sebuah kesepakatan rahasia. Mereka memutuskan untuk menempuh jalur Kawin Colong, sebuah "pelarian" yang terstruktur dan diatur oleh adat, bukan sekadar kabur tanpa tujuan.

Tahapan-Tahapan Sakral dalam Tradisi Kawin Colong

Prosesi Kawin Colong bukanlah tindakan impulsif. Setiap langkahnya telah diatur dalam sebuah rangkaian yang harus diikuti dengan saksama untuk memastikan semuanya berjalan sesuai norma adat.

1. Tahap "Bakalan"

Sebelum drama "penculikan" terjadi, ada tahap yang disebut `Bakalan`. Ini adalah fase di mana seorang laki-laki dan perempuan menjalin hubungan asmara, atau yang dalam bahasa modern kita sebut pacaran. Uniknya, proses `Bakalan` ini dilakukan secara diam-diam. Sang lelaki akan berkunjung ke rumah si gadis pada malam hari, biasanya antara pukul 20.00 hingga 22.00, tanpa ditemani orang tuanya.

Pada fase inilah, ketika mereka menyadari hubungan mereka tak akan direstui, kesepakatan untuk melakukan Kawin Colong mulai dirancang. Semua direncanakan dengan matang, dari penentuan hari "H" hingga strategi pelarian.

2. Tahap "Nyolong"

`Nyolong` atau `Melayukaken` adalah puncak dari perencanaan mereka. Inilah momen di mana sang jejaka "melarikan" atau "mencuri" gadis yang dicintainya. Aksi ini bukanlah penculikan sepihak, sang gadis telah sepenuhnya siap dan setuju.

Untuk memastikan kelancaran, sang jejaka tidak bertindak sendiri. Ia biasanya akan ditemani oleh seorang kerabat tepercaya yang bertugas mengawasi situasi dari kejauhan. Dukungan dari anggota keluarga pihak perempuan yang bersimpati (misalnya kakak atau bibi yang tidak setuju dengan keputusan orang tuanya) juga sering kali menjadi kunci keberhasilan proses ini. Sang gadis akan dibawa ke rumah orang tua atau kerabat sang jejaka, tempat ia akan tinggal sementara.

3. Tahap "Mutus Colok"

Di sinilah letak keunikan tradisi ini. Setelah sang gadis berada di bawah perlindungan keluarga sang jejaka, waktu seakan berjalan lebih cepat. Dalam kurun waktu tidak lebih dari 24 jam, pihak keluarga laki-laki wajib mengirim seorang utusan yang disebut `Colok`.

`Colok` secara harfiah berarti "penerang" atau "obor". Perannya adalah untuk "menerangi" keluarga pihak perempuan yang tengah "kegelapan" karena kehilangan anak gadisnya. Pemilihan `Colok` tidak bisa sembarangan. Ia haruslah sosok yang disegani, memiliki kepandaian berbicara dan bernegosiasi, seringkali seorang tokoh masyarakat atau tetua adat. Kehadirannya bertujuan untuk meredam amarah dan membuka jalan perundingan, bukan memicu konflik.

Sang `Colok` akan datang ke rumah orang tua si gadis dan menyampaikan pesan dengan sebuah ungkapan

"Sapi wadon riko wis ono umahe sapi lanang."

Artinya, "Sapi betina milikmu sudah ada di rumah sapi jantan." `Sapi wadon` (sapi betina) adalah metafora untuk sang gadis, dan `sapi lanang` (sapi jantan) adalah sang jejaka.

Pesan ini memiliki dampak psikologis yang kuat. Dengan anak gadis mereka yang telah "menginap" di rumah pihak laki-laki, orang tua perempuan biasanya akan luluh. Mereka beranggapan bahwa anak gadisnya tidak lagi "suci" dalam pandangan masyarakat. Untuk menghindari aib yang lebih besar, menerima pernikahan adalah jalan terbaik. Dari sinilah pembicaraan mengenai prosesi pernikahan dimulai.

4. Tahap "Ngempetaken"

Setelah kedua keluarga sepakat, calon pengantin perempuan akan memasuki masa `Ngempetaken`. Selama periode ini, ia tidak diperbolehkan bepergian keluar rumah sendirian hingga hari pernikahan tiba. Ini adalah semacam masa "pingitan" singkat untuk menjaga kesakralan menjelang akad nikah.

5. Tahap "Ngantenan"

`Ngantenan` adalah prosesi akad nikah. Tahapan ini tidak berbeda jauh dengan pernikahan pada umumnya. Dihadiri oleh kedua orang tua, kerabat, tokoh agama, dan para tamu, kedua mempelai secara resmi disahkan sebagai suami istri. Ini adalah momen puncak yang membuktikan bahwa jalan dramatis yang mereka tempuh akhirnya berujung pada penyatuan yang direstui.

6. Tahap `Suruh-suruh` dan `Kuwade`

Pernikahan belum lengkap tanpa perayaan. `Suruh-suruh` adalah tahapan arak-arakan pengantin. Kedua mempelai akan dinaikkan ke atas kereta kencana dan diiringi oleh alunan musik tradisional terbang. Ini adalah cara untuk mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa pasangan yang memulai kisahnya dengan "pelarian" kini telah resmi menjadi pasangan suami istri.

Puncaknya adalah `Kuwade`, yaitu resepsi pernikahan di mana kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan, menerima ucapan selamat dari sanak saudara dan para tamu.

Kawin Colong mungkin terdengar seperti sebuah tindakan pembangkangan. Namun, jika ditelisik lebih dalam, tradisi ini adalah sebuah mekanisme sosial yang cerdas. Ia menjadi jalan tengah yang elegan untuk menyelesaikan konflik antara kehendak anak dan restu orang tua. Daripada membiarkan konflik berlarut-larut atau putus hubungan, Kawin Colong menyediakan alur yang, meskipun dramatis, pada akhirnya menyatukan kembali kedua keluarga dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah dan terhormat.

Tradisi ini mengajarkan kita bahwa cinta terkadang membutuhkan perjuangan, namun perjuangan itu tetap harus berjalan dalam koridor adat dan kehormatan. Kawin Colong adalah bukti nyata betapa budaya mampu menciptakan solusi unik untuk persoalan manusia yang universal, menjadikannya salah satu warisan tak benda yang patut dihargai dari bumi Blambangan.

Baca Juga
Berita Terbaru
  • Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi
  • Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi
  • Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi
  • Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi
  • Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi
  • Mengenal Tradisi Pernikahan Kawin Colong dari Suku Osing Banyuwangi
Tutup Iklan